BTS Meal dan Ulah Fan Industri Budaya Populer



Oleh: Rahma Sugihartati Dosen isu-isu masyarakat digital Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP Unair


DALAM sepekan terakhir, BTS meal hasil kerja sama restoran cepat saji McDonald's dan grup K-pop asal Korea Selatan, BTS, viral dan menjadi perbincangan di berbagai media sosial. Menu BTS meal sebetulnya biasa saja, yakni nugget ayam, kentang goreng, dan minuman bersoda yang dikemas dengan kemasan khusus berwarna ungu, plus dua saus (dipping sauce), saus pedas manis, dan saus cajun khas Korea Selatan. Namun, entah karena apa, tawaran paket resto cepat saji itu ternyata mengundang antrean yang luar biasa di berbagai outlet McDonald's.


Antusiasme konsumen membeli paket menu BTS ini tidak hanya memicu kerumunan dan antrean di berbagai daerah, tapi juga membuat orang beramai-ramai menjual bungkus atau kemasan bekas makanan tersebut. Di marketplace, bekas bungkus BTS meal ditawarkan gila-gilaan, mulai ratusan ribu hingga jutaan. Salah satu kemasan bekas BTS meal konon ada yang ditawarkan di OLX dengan harga mencapai Rp599 juta atau seharga mobil mewah.


Kenapa tawaran paket BTS meal bisa memicu antrean dan euforia yang gila-gilaan? Kenapa ada sebagian konsumen yang sampai rela mengeluarkan uang dan antre hanya untuk sebuah paket makanan, yang rasanya tidak beda dengan paket makanan lain yang ditawarkan restoran cepat saji?


Subkultur penggemar


Untuk menjelaskan kenapa masyarakat begitu antusias menyambut tawaran paket menu baru McDonald, BTS meal, mau tidak mau harus digunakan perspektif cultural studies. Seperti diketahui, BTS ialah grup boyband terkenal asal Korea Selatan yang sekarang sedang naik daun.


Penggemar K-Pop ini sebagian besar ialah anak muda yang memuja semua anggota BTS sebagai selebritas yang mereka gemari. Tidak hanya menggemari lagu-lagi boyband pujaan mereka, para penggemar menggemari apa pun yang merefleksikan band pujaan mereka.


Paket menu makanan BTS meal, seperti yang ditawarkan McDonald, ialah bagian dari kecerdikan kapitalisme memanfaatkan momen dan antusiasme penggemar BTS. Anak-anak muda yang menjadi penggemar BTS pada dasarnya ialah sekelompok fandom yang memiliki selera dan cita rasa global terhadap produk industri budaya yang populer. Alih-alih berselera terhadap menu-menu lokal, para penggemar yang fanatik ini sering tanpa berpikir panjang akan menggemari apa pun yang ditawarkan bintang pujaan mereka.


Di era global seperti sekarang ini, disadari bahwa perkembangan subkultur anak muda tidak lagi bisa dibatasi ruang atau batas-batas administrasi wilayah. Kehadiran industri media dan produk budaya populer global telah mendorong kelahiran subkultur anak muda yang sesuai dengan perkembangan zamannya. Subkultur anak muda dalam masyarakat global ini muncul dalam kaitannya dengan perkembangan perusahaan multimedia dan munculnya ruang budaya anak muda yang bersifat transnasional.


Produk budaya populer yang mengglobal telah memicu perkembangan budaya anak muda global yang sering kali bersifat sinkretis dan menunjukkan adanya budaya-budaya hybrid (hibrida) yang kreatif. Bentuk-bentuk budaya hybrid yang dikembangkan anak muda berakar dari hubungan-hubungan sosial sinkretisme, yang mendorong terjadinya proses yang mengubah pemahaman diri anak muda, sebagai bagian dari industri budaya yang lebih mengglobal.


Peran teknologi komunikasi di sini ikut mengonstruksi berbagai komoditas, makna, dan identifikasi budaya anak muda yang sanggup melintasi batas ras atau negara dan bangsa. Kajian-kajian di seputar subkultur anak muda global tidak lagi merupakan persoalan lokasi dan akar-akarnya, tetapi terkait dengan pesoalan jalur-jalur kultural yang hybrid dan terkreolisasi dalam ruang global (Massey, 1998).


Dengan demikian, subkultur anak muda sudah tidak lagi murni, autentik, dan terbatas secara lokal (seperti yang dikonsepsikan CCCS Birmingham), tetapi merupakan budaya anak muda sinkretis dan terhibridisasi, produk dari interaksi yang melintas batas ruang.


Seperti yang dikatakan Steve Redhead, budaya anak muda telah ditandai dengan berakhirnya autentisitasnya karena subkultur anak muda sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh industri hiburan global dengan budaya populer menjadi bagian integral di dalamnya.


Perilaku penggemar BTS yang rela antre membeli BTS meal, termasuk perilaku mereka yang gemar berburu merchandise bintang pujaan untuk dikoleksi, ialah konsekuensi dari cara kapitalisme untuk mengeksploitasi konsumen sesuai dengan gaya, penampilan, dan citra yang dibutuhkan.


Korban hegemoniBagi para panggemar, yang menjadi korban hegemoni kekuatan kapitalis atau industri budaya penghasil budaya populer, teks-teks budaya yang mereka konsumsi tidak mustahil dipandang sebagai simbol status dan dirasa mampu mengisi kekosongan jiwa mereka akan mimpi atau dunia simulakra.


Dalam konteks ini, budaya populer boleh jadi telah menjadi bagian dari hyperreality yang sulit dibedakan lagi mana fakta dan mana pula citra. Budaya pop dewasa ini ialah budaya yang merupakan bagian dari sistem kehidupan sehari-hari yang tertanam dalam film, acara televisi, novel detektif, restoran cepat saji, gaya, musik, dan lain sebagainya, yang mengaburkan batas antara yang benar-benar bermakna dan yang sekadar hiburan.


Kehadiran budaya populer secara umum membangkitkan dua gejala. Pertama, melahirkan neomania, yakni rasa haus terus-menerus terhadap segala sesuatu objek konsumsi yang baru dan bentuk-bentuk hiburan baru yang ditanamkan di dalam jiwa (psyche) modern, melalui citraan, pesan, dan segala jenis tontonan media. Kedua, juvenilisasi, yakni kecenderungan yang meluas, yang dialami manusia untuk selalu merasa muda dan menarik, baik secara fisik maupun sosial, seperti para aktor dan tokoh yang mereka lihat di televisi, iklan, dan bioskop (Danesi, 2007).


Fenomena masyarakat rela berjubel dan melupakan protokol kesehatan hanya untuk memperoleh BTS meal niscaya hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan dominasi kapitalisme yang luar biasa kuat. Bahkan, bagi penggemar yang mengaku kritis pun, mereka umumnya sulit lepas dari pengaruh dan hegemoni yang dikonstruksi kekuatan kapitalisme.


Meski sebagian penggemar mengaku tidak sekadar mengonsumsi budaya populer sebagai bagian dari aktivitas pleasure, ujung dari semua euforia yang terjadi tak pelak ialah meningkatnya keuntungan bagi produsen. Ketika para penggemar tanpa sadar menjadi korban perangkap yang ditawarkan kapitalisme, bisa dipahami jika kenikmatan dan identitas yang ditawarkan sebetulnya ialah palsu.

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra