DALAM NAFAS TERAKHIR ADAN (Bagian 2)




INDSATU -  Kejadian hari ini terjadi begitu cepat dan diluar dugaanku. Aku sungguh tidak menyadari semua akan terjadi secepat ini. "Wahai ya Rabb, apa ini takdir bagiku?". Aku tau semua ini terjadi sesuai atas perintahMu. Sekarang aku disini hanya sendirian. Sendirian di gunung Marapi, seorang diri yang sekarat setelah erupsi besar itu terjadi.


      Aku sendirian terbaring lemah, menunggu akan pertolongan. Gadis malang itu, Zhafira sudah menghubungi keluargaku di Pekanbaru. Aku yakin mereka dalam perjalanan menuju ke Sumatra Barat. Saat ini hanya gelapnya malam serta dinginnya udara yang menemaniku. Aku tidak tahu bagaimana kondisi teman - temanku dalam satu rombongan pendakian. 


   Kami ada 7 orang, namun tidak ada satupun yang aku lihat. Kami terpisah saat erupsi dan bercerai - berai. Terakhir, aku melihat Nazatra merintih kesakitan, dan sesuatu yang buruk telah terjadi kepadanya. Namun, aku terus merangkak menuruni bebatuan cadas Marapi ini, menyelamatkan jiwaku. Tubuhku terguling jatuh diantara bebatuan saat hujan batu dan abu melanda.

     

Sekarang, dibalik bebatuan ini, semakin larut malam, tubuhku semakin mulai mati rasa. Aku tidak merasakan kaki - kakiku lagi. Kedua kakiku remuk dan patah karena terhempas ke bebatuan cadas gunung Marapi saat diatas. Erupsi ini sungguh seperti mimpi buruk bagiku. Masih terngiang - ngiang aku mendengarkan orang - orang berteriak minta tolong dari diatas puncak Gunung. 


     Sekelompok orang saat itu masih berada di tugu Abel di puncak Marapi saat erupsi terjadi. Sungguh naas nasib mereka. Akupun juga tidak beberapa jauh dari puncak waktu itu. Saat ini aku haus, lapar, serta merintih menahan kesakitan. Dadaku seakan sesak sulit bernafas dikarenakan terhirup abu vulkanik. 


     Tubuhku juga menggigil sangat kedinginan. Ujung tangan dan kakiku terasa ngilu dan beku. Aku kedinginan yang tak berkesudahan. Tubuhku sekarat, namun tanah ini sepertinya berusaha memelukku dan menghangatkanku. Aku tau aku sudah tidak berdaya lagi. "Hamba benar - benar sekarat ya Allah". Hamba sekarat ditempat terasing tanpa siapapun.

    

Tidak ada seorangpun disini. Tidak ada orang - orang yang datang mencari kami. Mungkin mereka juga takut dengan erupsi ini. Cobaan ini seperti datang bertubi - tubi bagiku ya Allah. Aku tidak tau apa yang terjadi dengan lham, Wilky, Nazatra dan teman - temanku yang lainnya. "Apa kalian baik - baik saja?". Setauku Wilky dan Ilham jauh tertinggal diatas. Nazatra juga terakhir aku lihat dekat denganku, namun entah dimana posisi dia sekarang. Kami benar - benar bubar akibat erupsi. 


    Semuanya panik menyelamatkan diri masing - masing. Tiga temanku yang lain entah dimana, aku kira semoga mereka bisa selamat. Aku belum mendengar suara kalian sejak tadi wahai sahabatku. "Kalian masih diatas kan?" Aku berharap teman - temanku bisa menyelamatkan diri. Sungguh malang kami ya Allah. Sebuah petualangan yang berakhir tragis.

   

Malam ini, aku sungguh berada dalam kecemasan serta ketakutan yang teramat dalam. Ketakutan berada di sebuah gunung besar yang masih saja belum berhenti erupsi sampai detik ini. Tentu saja masih berbahaya. Dari bawah bebatuan cadas ini masih saja terdengar raungan erupsi itu, seakan ingin memakan kami. 


     Raungan itu membuatku sangat ketakutan. Aku takut bencana yang lebih besar akan datang. Aku takut bukan hanya karena bencana, namun juga kegelapan ini. Akan tetapi, aku terlebih takut Engkau menelantarkan hamba seorang diri disini ya Allah". "Ya Rabb ya Tuhanku, aku takut kesepian disaat aku sekarat". Aku butuh teman bercerita. Teman yang mendengarkan aku saat sekarat ini. "Wahai ya Rabb, temani aku disini". "Janganlah Engkau mengabaikanku dalam kesepian ini".


 "Ya Rabb, aku teringat akan kedua orang tuaku". Timbul rasa penyesalan bagiku yang telah membuat mereka khawatir. Aku yakin kekhawatiran mereka teramat besar padaku saat ini. "Adan sungguh menyesal Ibu, Ayah! ". "Maafkan Adan! ". Hamba sangat menyayangi kedua orang tua hamba ya Allah. "Sayangilah kedua orang tua hamba Ya Allah". 


     Mereka adalah harta berharga yang hamba miliki. "Ibu, Ayah!". "Adan rindu rumah!". Rumah tempat kita berkumpul, bukan kegelapan yang seperti ini. "Adan juga sayang sama adek - adek Adan di rumah! ". Ingin rasanya aku memekik, tapi lidahku kelu tak bisa mengeluarkan suara. Aku trauma mendalam dengan apa yang telah terjadi pada hari ini.


     Inilah penderitaan yang bertubi - tubi rasanya. Sekarat, namun merindukan sesuatu yang sulit digapai. Merindukan arti keselamatan dan kebahagiaan bersama keluargaku. Aku yakin, berita kejadian hari ini pasti menyebar dengan cepat. Semoga banyak orang diluar sana yang mengkhawatirkan kami. "Oh Ibu, Ayah, maafkan Adan anakmu ini!". "Adan masih sanggup menahan rasa sakit ini! ". "Akan tetapi Adan jauh lebih takut jika Adan tidak bisa berjumpa dengan Ibu dan Ayah lagi! ". 


     Tak terasa air mataku bergulir tak henti - hentinya menuruni pipiku. Tetesan air mata kepedihan, kesedihan, penderitaan, kemalangan yang berlipat - lipat ganda seakan menjadi saksi ketidakberdayaanku. Tanah ini seakan lembab menampung tetesan air mataku. Bumi ini seakan turut merasakan akan kesekaratanku.

  

   Hari ini, keberanian telah mengantarkanku sampai dititik ini disini. Namun, bukan seperti ini yang aku harapkan. "Ibu, Ayah, Adan telah melihat indahnya gunung Marapi ini! ". "Sengaja dihari jum'at Adan jauh - jauh berangkat dari Pekan Baru ke Bukittinggi, untuk mendaki Marapi ini Bu, Ayah!". Sebuah perjalanan mendaki gunung yang aku nanti - nantikan sejak lama.


     Sesampai dipuncak Marapi sebelum erupsi aku sangat menikmatinya. Memang besar kuasa Allah yang telah menciptakan alam ini. Dari atas puncak, aku melihat barisan pegunungan yang sangat indah. Nampak panorama gunung Singgalang dan gunung Tandikek dari atas puncak Marapi. Sebenarnya pagi ini berkabut, kata teman - teman seharusnya kita juga bisa melihat gunung Talamau dan danau Singkarak, dari atas puncak, namun tertutup oleh kabut.


   "Adan lupa menelfon Ibu dan Ayah di hari minggu pagi". "Harusnya minggu pagi Adan memberitahu Ibu dan Ayah bahwasanya Adan sudah sampai dipuncak Marapi ini". Maafkan Adan yang telah lupa menelefon Ibu dan Ayah!". Aku hanya takut membuat mereka khawatir akan keberadaan aku.

    

Pagi ini aku takjub ketika menyaksikan matahari terbit dari atas puncak Marapi. Menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur memberikan kilauan sempurna menerangi garis cakrawala. "Harusnya Adan beritahu ibu sama ayah akan keindahannya". "Memang sangat Indah bu, ayah!". "Adan bersyukur diberikan kenikmatan ini". Namun, semuanya tinggal kenangan. "Ibu, Ayah, bagi Adan sebenarnya ada hal yang lebih indah daripada itu semua". "Adan lebih bahagia kita bisa berada dirumah bersama - sama


     dengan Ibu, Ayah dan adik - adik Adan!". Itulah hal yang paling indah bagi Adan rasakan". "Adan rindu pulang Bu!". "Adan ingin mengulang kita tertawa bersama - sama!". "Adan rindu melihat ibu yang selalu peduli dengan Adan". "Adan rindu nasehat Ayah". "Adan nakal ya Bu, Ayah!". "Maafkan Adan!". "Tapi Adan sangat sayang sama Ibu dan Ayah". " Adan berterima kasih sama Ibu dan Ayah yang sudah


   membesarkan Adan dengan sabar". "Oh ya, Adan ingin main futsal jika sampai dirumah nanti". "Adan ingin cepat - cepat tamat kuliah Hukum". "Adan ingin menjadi orang yang hebat dimasa depan Bu, Ayah". "Do'akan Adan ya Bu, ya Ayah! ". "Do'akan anakmu ini! ". Tak terasa air mataku mengalir dengan deras sambil terisak pilu.


     Batinku terus bertutur seolah - olah menjadi penyemangat aku dalam kesunyian malam ini. Sulit dibayangkan aku telah terbujur kaku, kelaparan, merintih menahan sakit hampir di seluruh sekujur tubuhku. Tempat yang asing, dikelilingi bebatuan tajam, hanya beberapa dahan pohon yang baru aku temui. Gunung ini sunyi, gelap, namun ada suara binatang - binatang aneh yang aku dengar dari tadi. Mereka seolah juga turut bersedih atas apa yang telah terjadi.

    

       "Wahai Ya Allah, hamba bertaubat". "Sungguh hamba hanya makhlukmu yang lemah". "Hamba tidak tau apa yang akan terjadi". "Hamba sudah pasrah ya Allah". Malam ini sudah teramat panjang untuk dilewati sendirian. Gadis itu Zhafira mungkin sudah hampir sampai dibawah. Aku memberikan HPku kepadanya agar dia bisa selamat. Aku juga menaruh perasaan kepadanya, sejak awal kami bertemu dipuncak kawah. Namun kami tidak saling mengenal. Kami hanya mengenal ketika kami bertemu saat sama - sama sekarat. Sebetulnya, kami hampir bertemu di tugu Abel, tapi kami punya rombongan masing - masing dan aku harus kembali menuruni bebatuan cadas sebelum sore. Tadi sore melalui HPku, Zhafira sempat mengirimkan foto darurat kami pada keluargaku.


     Foto yang menjadi pertanda kami dalam bahaya dan membutuhkan pertolongan akibat erupsi ini. Itu merupakan foto yang paling menyedihkan diantara yang kami miliki. Sebuah foto kami yang bercampur debu berdua telah dikirim kepada keluargaku. Foto yang Zhafira kirim kepada keluargaku itu adalah foto pertama bagiku berfoto bersama seorang gadis. Aku tidak pernah berfoto dengan seorang gadis dengan begitu dekatnya. Mungkin saja itu foto terakhir bagiku. Semoga Zhafira segera mendapat pertolongan dibawah. 


      Aku membiarkannya membawa HPku bersamanya, karena aku sangat kasihan kepadanya. Aku sungguh menaruh rasa iba kepadanya. Aku tidak tega melihat kondisi gadis itu. Sekujur tubuhnya melepuh akibat erupsi. Aku berharap agar kita bertemu lagi dimasa depan. Aku berharap bisa bertemu kembali dengan Zhafira setelah pulang nanti. Aku berharap aku bisa menyatakan perasaanku kepadanya saat menemuinya nanti. Aku berharap bisa mengungkapkan padanya, jika aku mencintainya. Itulah harapanku akan sebuah pertemuan yang lebih baik dan tidak dramatis seperti ini.

    

Semakin larut malam, tubuhku semakin lemah. Aku merasakan beban yang sangat besar ditubuhku. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku mendengar ada langkah semut tepat di samping telingaku. Ada banyak suara jangkrik berlomba - lomba. 


   Aku mendengar ada seekor burung Gagak hitam bersuara. Aku ingin tidur dengan nyenyak. "Berikan hamba kekuatan Ya Rabb". "Ya Allah, hamba memuji kebesaranMu, sungguh Engkau Maha Awal dan Maha Akhir". Udara malam sudah mulai terasa berubah. Terasa lebih sejuk dan tenang. 


   Aku tidak sadar, aku telah tertidur. Tidur telah membuat aku melupakan dari sakitnya rasa tubuhku. Aku rasa ini sudah mulai mendekati waktu Subuh. "Ya, Aku harus Shalat!". Firasatku mengatakan mungkin ini adalah shalat terakhirku. Aku sungguh mencintai Rabbku. Aku mulai mengangkat kedua tanganku dan mengucapkan takbir. 

    Dalam shalat, aku merasakan sebuah kekhusyukan yang teramat dalam yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasakan kesyahduan yang kuat dengan Rabbku. Dia seolah - olah benar - benar dekat denganku. Aku benar - benar tidak kesepian lagi. Aku merasa sangat dekat dengan Rabbku.

      

 Aku bahagia disaat aku merasa dekat dengan Rabbku. Di saat - saat sujud terakhirku, aku melihat sebuah cahaya putih bersinar terang. Cahaya itu menghampiriku secepat kilat dan berhenti tepat dihadapanku. Aku melihat ada sayap sayap putih yang dibawa dengan terang benderang. Cahaya sayap - sayap putih itu menyelimuti seluruh tubuhku.

     

 Sesaat tubuhku yang dingin seperti es, berubah menjadi hangat. Rasa sakit diseluruh tubuhku sudah tidak ada lagi. Penderitaanku menjadi hilang. Kemudian, aku mendengar ada suara seperti berbisik memanggil namaku. Bisikan itu sangat halus dan lembut. Bisikan itu datang dari sebelah kananku. Dia menuntunku menyebutkan Rabbku dengan jelas. Aku kemudian mengikuti bisikan itu. 


     Kemudian aku tidak mengingat apapun lagi, kecuali hanya mengingat Rabbku untuk yang terakhir kalinya. Dalam mimpiku aku duduk disebelah jasadku yang terbaring kaku. Ini pertama kalinya aku melihat wajahku sendiri dengan sangat jelas. Raut wajah kaku seorang pemuda yang bernama Muhammad Adan. Aku sudah menemui Rabbku. Tidak ada lagi perjuangan, dan ini adalah takdirku. Seperti kisah yang telah usai, aku telah berada di penghujung dunia. Namun, aku menunggu kelanjutan cerita ini dimasa depan.(*)



*Penulis Bion E Koto.


Bersambung...

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra