Oleh : Jasril
INDSATU.COM - Dewasa ini dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat terlihat semakin
lunturnya nilai-nilai luhur bangsa. Setiap hari selalu muncul pemberitaan mengenai
penyimpangan perilaku seperti kerusuhan, perselisihan, tawuran antarpelajar,
pemerkosaan, minuman keras, dan saling ejek di media sosial. Kondisi itu semakin
diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku elite di Negara ini yang seharusnya
menjadi idola dan sosok anutan sosial bagi pelajar. Perilaku korupsi, manipulasi,
mementingkan golongan dan kelompok sendiri, dan tidak peduli dengan jeritan
masyarakat yang kesusahan, justru dipertontonkan secara masif di tengah masyarakat
oleh para pejabat. Akibatnya, anak-anak muda cenderung menjadi egois, baik terhadap
dirinya sendiri maupun sesamanya. Nilai-nilai kemanusiaan seperti kebaikan,
kebenaran, kejujuran, rendah hati, kepedulian, rela berkorban, keadilan, rasa “teposelira” yang sesungguhnya setiap kali muncul dalam nurani, sudah terabaikan, dan
dikalahkan dengan pemikiran-pemikiran dan tindakan yang lebih berorientasi hedonistic
dan pragmatis.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi generasi muda
tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengajaran apresiasi
sastra. Pengajaran sastra adalah pengajaran yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Melalui sastra, nilai-nilai berupa kepahlawanan, kejujuran, pengorbanan, dan sifat-sifat
luhur lainnya dapat diajarkan lewat jalinan cerita yang disusun rapi dan indah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ratna (2003, hlm. 35), bahwa tujuan akhir dari penciptaan
karya sastra adalah sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai
pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan
kondisi alam semesta.
Pembelajaran sastra yang diharapkan sebagai salah satu wadah untuk penanaman
nilai-nilai luhur bangsa, belum berlangsung secara baik di sekolah. Kondisi ini sesuai
dengan pernyataan beberapa ahli, diantaranya, Herfanda (2007) mengatakan bahwa
kondisi terkini pengajaran sastra belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang
memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata
siswa dan lulusan SMA terhadap karya sastra. Selanjutnya, Sarjono (2001, hlm. 207—
208), mengatakan bahwa permasalahan pembelajaran sastra di sekolah adalah (a) tidak
terdapat hubungan antara teori dengan kemampuan apresiasi peserta didik, (b) guru
tidak mempunyai banyak waktu untuk mengikuti perkembangan sastra, dan (c) peserta
didik tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis, moral, dan budaya.
Ada beberapa penyebab belum terlaksananya dengan baik pembelajaran apresiasi
prosa fiksi di sekolah. Namun, dalam tulisan ini hanya akan diuraikan dua hal utama
yang menjadi penyebab belum terlaksananya dengan baik pembelajaran apresiasi prosa
fiksi di sekolah.
1. Terbatasnya Kemampuan Guru dalam Mengajarkan Sastra
Terbatasnya kemampuan guru dalam mengajarkan sastra menyebabkan
pembelajaran sastra kurang diminati peserta didik. Pembelajaran sastra Indonesia di
berbagai jenjang pendidikan, selama ini sering diaggap kurang penting dan
dianaktirikan oleh para guru, apalagi guru yang pengetahuan dan apresiasi sastra
(dan budayanya) rendah. Mereka jarang membaca karya sastra sehingga tidak
mengetahui perkembangan mutakhir sastra Indonesia. Menurut Artika (2015),
kecenderungan guru sastra sekarang adalah jarang membaca karya sastra yang
dimuat di koran atau majalah, misalnya cerpen di hari Minggu atau cerita
bersambung di majalah wanita, meskipun mudah didapat dan menampilkan cerita
yang menarik. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang idealnya menarik dan besar
sekali manfaatnya bagi para peserta didik ini disajikan hanya sekedar memenuhi
tuntutan kurikulum yang menyebabkan pembelajaran menjadi kering, kurang hidup,
dan cenderung kurang mendapat tempat di hati peserta didik. Padahal, bila kita kaji
secara mendalam, tujuan pengajaran sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk
menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa
dan sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian,
tugas guru yang mengajarkan sastra tidak hanya memberi pengetahuan (aspek
kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta
(aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Dalam berbagai tulisan, banyak kritikus sastra menjatuhkan vonis bersalah
pada guru sastra atas rendahnya apresiasi peserta didik terhadap karya sastra
(Mawardi, 2008). Dalam pandangan kritikus sastra, kian merananya pengajaran
sastra di sekolah lebih banyak disebabkan oleh dua faktor yang bermuara pada guru,
sebagai berikut. Pertama, guru sebagai sosok pengajar dianggap kurang memiliki
kompetensi dan basis pengetahuan sastra yang mumpuni. Kedua, guru dinilai tidak
kreatif dalam proses pembelajaran sastra di sekolah sehingga cenderung
membosankan. Hal ini terjadi karena guru dinilai tidak memiliki strategi jitu dalam
mengajarkan sastra. Meskipun belum ada pemetaan terbaru, namun untuk dua
penilaian tersebut cenderung benar adanya. Bahkan di lapangan, memang seringkali
kali dijumpai guru sastra (bahasa dan sastra Indonesia) yang enggan meng-upgrade
pengetahuan mereka tentang seluk-beluk sastra kontemporer (Trianton, 2008).
Buruknya kondisi pengajaran sastra di sekolah juga dipengaruhi oleh
pendidikan para guru di kampus-kampus LPTK program studi pendidikan bahasa
dan sastra Indonesia. Menurut Rahmanto (2001), dalam kurikulum pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia mata kuliah sastra sangat sedikit (sekitar 12 SKS)
dibandingkan dengan mata kuliah kebahasaaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
sejak kuliah calon guru sastra tidak memiliki kesempatan secara luas dan mendalam
untuk menggeluti dunia sastra. Calon guru lebih banyak berfokus pada kebahasaan
sehingga ketika menjadi guru secara langsung tidak memiliki kompetensi memadai
dalam mengajarkan sastra. Tambahan lagi lagi bila guru tersebut tidak memiliki
minat yang benar dalam memperlajari sastra.
2. Matinya Wadah Pengembangan Kreativitas Bersastra Peserta didik Di Sekolah
Matinya wadah pengembangan kreativitas bersastra siswa di sekolah ikut
menjadi penunjang mematikan minat peserta didik belajar sastra. Sebagian sekolah
memang sudah mempunyai wadah berkereativitas, namun wadah itu tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Pihak sekolah dan guru cenderung mengabaikan keberadaan
wadah bersastra bagi peserta didik itu. Bahkan yang lebih parahnya lagi, masih ada
sekolah yang belum mempunyai wadah pengembangan kreativitas bersastra peserta
didik. Menurut Ismawati (2013, hlm. 174—175), wadah atau bentuk kegiatan yang
menunjang pengajaran sastra di sekolah, misalnya berbagai lomba yang berkaitan
dengan sastra, pentas seni sastra, majalah sekolah atau majalah dinding, mengkliping
karya sastra, dan sanggar sastra
Keberadan wadah berkreativitas bagi peserta didik di sekolah sangat
menunjang kepada pengajaran sastra. Kegiatan bersastra di luar jam belajar secara
langsung pasti akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan,
penghayatan, dan penghargaan yang positif terhadap sastra (dan bahasa) Indonesia
pada siswa. Kita harus meyakini bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran
bakat/minat, dan pembinaan moral peserta didik tidak hanya dilaksanakan pada saatsaat belajar secara formal di dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler
di luar jam pelajaran.
Dinamika pengajaran sastra di sekolah perlu dicarikan solusi penyelesaian. Bila
tidak, tentu fungsi pendidikan sebagai wadah memanusiakan manusia tidak akan
tercapai. Perlu peran aktif semua pihak, mulai dari orang tua, guru, pemerintah sampai
masyarakat untuk menjadikan pendidikan khususnya pengaran sastra sebagai sarana
penciptakan generasi muda yang beradab. Mudah-mudahan! (*)
0 Komentar