Oleh : * Dr. Hary Efendi Iskandar-Ketua PSH Universitas Andalas.
INDSATU - Kisah sukses seorang pengamen jalanan yang bernama Kukuh Haryanto berhasil meraih suara terbanyak dan kemungkinan besar duduk sebagai salah seorang Anggota DPRD Kabupaten Wongiri(2024-2009), Jawa Tengah dari Partai Demokrat.
Keberhasilan Kukuh Haryanto adalah kisah yang langka terjadi sehingga kejadian ini menjadi viral dalam jagat politik-kepemiluan nasional beberapa hari belakangan ini. Kisah sukses Kukuh Haryanto ini salah satu bentuk “anomaly politik” di tengah arus besar konstruksi politik yang berbiaya tinggi dalam sistem kepemiluan proporsional terbuka (daftar calon) dengan mekanisme suara terbanyak sejak Pemilu 2008.
Dari pemilu 2008 hingga 2024, sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak terhadap calan anggota legislative (DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan Kabupaten/Kota) terpilih berdampak terhadap sistem ideologi politik (political ideology) dan dan perilaku politik (political behavior) yang dianut oleh elite politik sehingga berdampak buruk pula terhadap nilai dan perilaku pemilih sebagai masyarakat akar rumput (grass root).
Sejak sistem pemilu ini dilakukan sejak tahun 2008 memperlihatkan semakin dominanya kekuatan ekonomi (economic capital) dibandingkan modal-modal lainnya seperti; modal politik (politic capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal intelektual (intelectual capital) dan lain-lain.
Di kalangan elite dan pengurus partai politik, posisi tawar seseorang yang hanya memiliki modal politik, modal sosial, modal budaya, dan atau modal intelektual tanpa didukung oleh modal ekonomi tidak dinilai cukup dan relevan untuk memperoleh jabatan dan kedudukan yang diperhitungkan dalam partai politik.
Akibatnya adalah dengan sangat mudah ditemukan kasus di kalangan elite politik melakukan loncat pagar (jump suddenly) dari satu partai ke partai yang lain, tanpa harus mempertimbangkan perbedaan basis ideologi politisi tersebut. Dalam kontek ini maka, politik yang diperankan elite adalah politik tanpa kompas moral, sehingga yang terjadi adalah “politik tukang obat” (Munjid: 2019).
Bagi mereka yang pandai menawarkan obatnya, maka mereka dengan sangat mudah memperoleh kesempatan itu sehingga loncat-pagar dari satu partai politik ke partai politik yang lainnya menjadi hal yang biasa saja.
Begitu pula dalam urusan pencalegan. Kalaupun ada yang perhitungkan dalam urusan pencalegan dengan hanya mengandalkan modal politik, karena sekian lama menjadi kader partai; memiliki modal sosial karena memiliki jejaring sosial dan investasi sosial; memiliki modal budaya karena lahir dari aktif dalam menguatkan gerakan budaya; memiliki modal intelektual karena menyandang pendidikan tinggi dan kedalaman ilmunya, namun akhirnya menjadi “caleg pelengkap” saja, jika tidak didukung oleh modal ekonomi yang memadai, mereka mengalami kegagalan dalam memperoleh suara terbanyak dalam pemilu.
Sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak membuka ruang yang selebar-lebarnya kepada politisi dengan modal ekonomi yang mempuni. Sistem pemilu ini hanya mengutungkan politisi yang bermental “pedagang” yang kemudian disebut “politisi pedagang”. Yaitu politisi yang didasarkan pada paradigma kalkulatif untung-rugi.
Seorang politisi pedagang yang ditopang oleh hasrat dan kemampuan finansial dan memiliki naluri bisnis yang tajam menangkap peluang. Mereka biasanya tanpa pikir panjang berinvestasi dan menggelontorkan modal finansial jika ada kesempatan yang mendatangkan keuntungan.
Mereka siap menggelontorkan modal 500 juta untuk menjadi anggota DPRD kabupaten/kota, dan akan memperoleh keuntungan 2-3 milyar ketika menjadi anggota DPRD selama lima tahun, atau lebih besar dari itu pada tingkatan posisi yang lebih tinggi dengan harapan keuntungan yang lebih besar, maka naluri bisnisnya akan mendorong mereka untuk melakukannya.
Atas pikiran praktis tersebut kebanyakan “politisi padagang” dominan memenangkan kontestasi dibandingkan dengan para calon legislatif dengan modal politik, sosial, budaya, intelektual, dan modal finansial yang terbatas.
Pada tahap berikutnya mentalitas “politisi pedagang” ini pada level praksisnya, terutama saat tahapan kampanye bertransformasi menjadi praktik politik uang (money politic). Berbagai istilah muncul tentang politik jual beli suara. Mulai dari serangan “fajar”, bahkan ada pula yang disebut dengan serangan “dhuha”.
Praktik politik uang merupakan manifestasi ketersambungan naluri bisnis “politisi pedagang” dengan hambatan psikologis ketidakpercayaan (untrust), dan derita rakyat kecil akibat himpitan ekonomi. Situasi yang tidak tidak baik dan tidak menguntungkan tersebut “memaksa” mempertemukan ruas dengan bukunya.
Akibatnya adalah kekuatan uang benar-benar massif terjadi, namun karena hambatan regulasi dan faktor sosial-budaya, praktik buruk ini nyaris tidak bisa dienyahkan. Parahnya pada pemilu 2024 penyelenggara pemilu, terutama Bawaslu seperti tidak “berdaya”.
Beragam rumor yang berkembang tentang nomimal harga satu suara dalam Pemilu 2024. Ada yang menyebutkan satu suara 50 ribu hingga 100 ribu, namun ada juga yang menyakatan bahwa harga satu suara mengarah pada nominal 250 ribu. Tidak diperoleh juga tentang kesahihan informasinya.
Namun yang pasti banyak calon anggota legislative yang mengandalkan pada modal politik, sosial, budaya dan lain-lain, termasuk caleg yang sedang menjabat (incumbent) sebagai anggota DPR, DPD, DPRD propinsi, dan kabupaten/kota tidak memperoleh suara terbanyak, sehingga tergeser oleh caleg-caleg pendatang baru yang relative muda, namun memiliki cara praktis dan prakmatis “menaklukan” pemilih, terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Akankan sistem berbagai dampak buruk dari bangunan sistem pemilu ini akan dipertahankan di masa datang? Kalaupun tetap dipertahankan, tentu mitigasinya mesti dipersiapkan sehingga kualitas dari produk kepemimpinan elite yang dilahirkan melalui pemilu semakin tidak mengkuatirkan.
Misalnya dengan memperbesar ruang “kesetaraan” dan kesempatan dengan melahirkan UU Pembiayaan Partai Politik, atau juga barangkali dengan mencabut larangan ASN, TNI dan Polri berpolitik, atau juga menimjau UU Pemilihan Pemilu dan UU Pilkada, dan lain-lain.
Bila para anggota DPR, DPD, hingga DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota semakin dominan berasal dari politisi bermental “pedagang”, dan sebaliknya semakin minim dihiasi oleh politisi yang berbasis pada modal politik, sosial, budaya, dan intelektual bukan mustahil negara-bangsa ini akan terjerembab pada situasi yang semakin buruk, dimana entitas negara-bangsa menjadi alat untuk “diperdagangkan”. Wallahu’alam. (*)
* (Penulis: Ketua PSH Universitas Andalas)
0 Komentar