Gubernur Komunikatif


Miko Kamal

Advokat dan Wakil Rektor III Universitas Islam Sumatera Barat


Jabatan gubernur itu unik. Beda dengan bupati atau walikota. Dalam memerintah, bupati atau walikota punya satu relasi saja: atas-bawah. Gubernur? Dua relasi harus dikelola sekaligus: atas-bawah dan menyamping. 


Dalam relasi atas-bawah, bupati atau walikota bisa memecat para kepala dinas (Kadis) dan pejabat di bawahnya, bila dia mau melakukan itu. Syarat dan ketentuan pemecatan tentu harus dipenuhi. 


Boleh dibilang, dalam konsepi relasi atas-bawah, para Kadis, kepala bagian (Kabag), camat dan lurah adalah anak buah langsung bupati atau walikota. Ini konsekuensi dari diletakkannya kuasa pengangkatan dan pemberhentian para pejabat di kabupaten atau kota di tangan bupati atau walikota. 


Relasi atas-bawah di kantor gubernur juga serupa itu. Semua pejabat di kantor gubernur serupa Kadis, kepala badan (Kaban), kepala bidang (Kabid) dan pejabat lainnya berada dalam kuasanya juga. Seperti halnya di kabupaten atau kota, gubernur dapat memecat para pejabat-pejabat yang tidak sesuai seleranya. Sekali lagi, tentu segala syarat dan ketentuan pemecatan juga berlaku. 


Keunikan jabatan gubernur ada pada pola relasi menyamping: relasi gubernur dengan bupati dan/atau walikota. Hubungan menyamping inilah yang mudah-mudah sulit mengelolanya. 


Paling tidak ada 2 faktor yang mempengaruhi rumitnya pengelolaan relasi menyamping. Pertama, semua bupati dan walikota juga dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Persis sama dengan pemilihan gubernur. Secara praktis-pragmatis begini: gubernur berhabis-habis uang, tenaga dan waktu agar terpilih, bupati dan walikota juga begitu.     


Kedua, bupati dan walikota punya wilayah sendiri. Bahkan, dari sisi ini, bupati dan walikota jauh lebih kuat. Wilayahnya jelas. Sawahnya berpematang, ladangnya berbintalak. Sebaliknya, gubernur tidak. Wilayahnya sudah terbagi habis di tangan bupati dan walikota.  


Terpengaruh oleh 2 faktor itu, bupati dan walikota merasa sama pentingnya dengan gubernur. Sebab itu, gubernur harus berpandai-pandai berkomunikasi dengan bupati dan walikota. Salah rosok, bupati dan walikota bisa membelakang saja selama periode pemerintahannya. 


Seorang gubernur harus komunikatif. Jangan sesekali memosisikan bupati dan walikota sebagai anak buah, layaknya Kadis dan pejabat lainnya di kantor gubernur. 


Bila sedang berdinas ke daerah, gubernur (bisa diwakili ajudan) dengan ramah "mengklakson" bupati atau walikota tempatan. Ini kelihatan sepele, akan tetapi bisa berakibat buruk. Bupati atau walikota bisa merasa tidak dihargai bila gubernur datang tanpa memberi tahu.    


Gubernur harus menghidupkan telepon pintarnya 24 jam untuk bupati dan walikota. Ada telepon masuk dari bupati atau walikota mesti diprioritaskan untuk diangkat. Pesan singkat yang masuk dibalas segera. Tidak didiamkan saja seperti batu jatuh ke lubuk. Jika tidak mungkin menjawabnya secara "real time", gubernur bisa menyediakan waktu khusus untuk membalasnya. Misalnya, setiap selesai shalat Subuh atau menjelang tidur. Mana yang enaklah. 


Agar betul-betul komunikatif, gubernur tidak perlu melagak-lagakkan posisinya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah seperti yang termaktub di dalam UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2018. Sebab, dalam praktiknya, bupati dan walikota bisa langsung terbang ke Jakarta menyelesaikan ragam urusan mereka dan orang Jakarta pun membenarkan praktik itu.


Gubernur komunikatif sangat diperlukan rakyat Sumbar saat ini dan ke depan. Yaitu, gubernur yang mampu menyusun rapi para bupati dan walikota dalam satu barisan untuk bergerak serempak membangun Sumbar dalam segala bidang.


Padang, 7 Oktober 2024

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra